Nih Karakteristik Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Daerah Konservasi Laut
Artikel kali ini saya ingin mencoba membahas perihal sebuah aksara yang ada dalam masyarakat pesisir dalam mengelola tempat konservasi bahari Indonesia (KKL) contohya ibarat koperasi mina bersatu untuk daerah pesisir. Untuk memahami aksara masyarakat ini, mungkin ada lebih baiknya kita mengerti terlebih dahulu perihal latar belakang kelautan Indonesia terlebih dahulu.
Sebagai negara yang mempunyai wilayah perairan lebih luas dibandingkan dengan daratannya, Indonesia mempunyai sumberdaya perairan yang sangat besar. Bahkan di Asia Tenggara, Indonesia tercatat sebagai negara dengan luasan terumbu karang terbesar, yakni 51.020 kilometer persegi, atau 50 persen dari total luasan terumbu karang Asia Tenggara. Sayangnya, hanya 6 persen yang sanggup dikategorikan sangat baik, sedangkan 30 persen kondisinya parah.
Satria (2006) menyebutkan bahwa kerusakan sumberdaya alam, khususnya bahari dan pesisir telah memunculkan informasi menarik yang salah satunya ialah mengenai common property atau kepemilikan bersama. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah konferensi internasional di Bali pada 19-23 Juni 2006 kemudian oleh International Association for the Study of Common Property dengan tema “Survival of the Commons: Mounting Challenges and New Realities”. Salah satu topik yang dibahas ialah mengenai konservasi dan kaitannya dengan informasi common property tersebut.
Pengelolaan tempat konservasi merupakan otoritas pemerintah pusat, yakni Departemen Kehutanan (Dephut). Namun, pengelolaan tempat konservasi bahari oleh pemerintah pusat menerima tantangan sesudah ditetapkannya UU 22/1999 perihal pemerintahan daerah yang mengatur kewenangan daerah di laut. UU 22/1999 mengatur batas kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Namun demikian, penetapan UU 22/1999 tidak menjamin bahwa desentralisasi konservasi sanggup diimplementasikan. Menurut Damanik, Prasetiamartati, dan Satria (2006), ada dua faktor yang mempengaruhinya, yakni (1) belum terciptanya harmonisasi produk aturan sehingga mengakibatkan konflik antara pemerintah pusat (Dephut) dan daerah dan (2) terjadinya konflik institusional antara Dephut dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
1) Sistem pengetahuan
Pengetahuan lokal yang berakar kuat menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka selaku nelayan.
2) Sistem kepercayaan
Secara teologis, nelayan mempunyai kepercayaan yang kuat bahwa bahari mempunyai kekuatan magis sehingga perlu perlakuan khusus dalam melaksanakan penangkapan ikan semoga keselamatan dan hasil tangkapannya semakin terjamin.
3) Peran wanita
Selain menjalankan urusan domestik rumah tangga, isteri nelayan tetap menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dalam acara penangkapan, pengolahan, maupun acara jasa dan perdagangan ikan.
4) Posisi sosial nelayan
Posisi sosial nelayan di masyarakat diperlihatkan dengan status mereka yang relatif rendah dibandingkan kelompok masyarakat yang lain. Satria (2008) menyatakan bahwa belum ada data terbaru perihal jumlah nelayan miskin dari dua juta orang nelayan yang hidup di Indonesia. Data yang ada hanya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir tahun 2002 yang mencapai 32 persen. Indikator yang dipakai ialah pendapatan 1 dollar AS per hari.
Mubyarto, Soetrisno, dan Dove (1984) yang melaksanakan penelitian di dua desa pantai (Desa Bulu dan Desa Ujungbatu) di Kabupaten Jepara menyatakan bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Sementara itu, Crutchfield (1961) dalam Marahudin dan Smith (1987) menyatakan bahwa sektor perikanan Amerika dan Kanada telah memperlihatkan bukti yang terperinci mengenai kelemahan ekonomi masyarakat nelayan. Tingkat pendapatan, baik bagi para buruh maupun pemodal, relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan kelompok masyarakat lain di tempat yang cepat berkembang tersebut. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa baik di Indonesia maupun di Barat, kehidupan masyarakat nelayan memang mengalami permasalahan serius di bidang ekonomi yang relatif tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lain.
Seorang yang membudidayakan ikan, tahu dimana ikan-ikannya berada dan kapan harus menangkapnya sehingga produksinya sanggup lebih diprediksi. Pada kesudahannya sumber daya insan dan kebutuhan modal untuk budidaya perikanan dan penangkapan ikan, berbeda antara satu sama lain. Nelayan hanya perlu menangkap ikan yang tumbuh secara alamiah, dan pada nelayan berskala kecil hal ini sanggup dilakukan dengan modal yang relatif sedikit. Sebaliknya, sistem budidaya perikanan membutuhkan pengelolaan dan penangkapan yang tergantung pada pengaturan dan pembinaan tenaga kerja yang lebih kompleks. Berbagai sistem budidaya perikanan memerlukan pembuatan/penggalian kolam, pengadaan bibit, pemeliharaan kualitas air, dan pemberian makanan, yang kesemuanya membutuhkan investasi yang relatif besar. Di dalam goresan pena ini, pembahasan dibatasi hanya pada perikanan bahari (capture fishing), mengingat terdapat karakteristik yang khas di dalam masyarakatnya.
Di banyak sekali lingkungan nelayan, ibarat juga pekerjaan di bidang lain, mereka membentuk masyarakat. Nelayan sering terisolasi lantaran mereka harus tinggal di sepanjang pinggiran danau, sungai, atau laut. Isolasi relatif ini meningkat antara nelayan dengan masyarakat daratan dikala mereka sedang menangkap ikan. Sebagai tambahan, kebanyakan nelayan bekerja di malam atau dini hari – waktu dimana sebagian besar orang sedang tidur – yang mengakibatkan mereka sering diperlakukan sebagai “orang terbuang” dari masyarakat.
Isolasi tempat tinggal dan sosial ini menghipnotis variabel sosial budaya yang lain, yang pada kesudahannya akan kuat pada pembangunan masyarakat nelayan. Kondisi ini juga mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan di banyak lingkungan nelayan berskala kecil di banyak negara berkembang. Bahkan di daerah yang tidak terlalu terisolasi, isolasi sosial mengakibatkan nelayan dan keluarganya menanggapi pendidikan formal secara negatif, dibandingkan dengan masyarakat yang bukan nelayan. Sebagai contoh, ketidakmampuan belum dewasa nelayan untuk berpakaian sekolah secara layak mendorong mereka untuk lebih cepat keluar dari sekolah. Selain hal itu, adanya perbedaan gender dalam angkatan kerja merupakan bukti yang sering ditemui dalam sistem pasar dan distribusi. Ikan merupakan produk yang tidak tahan lama. Ia sulit disimpan tanpa teknik yang rumit dalam penjemuran atau pengawetan serta membutuhkan tempat dan tenaga kerja yang relatif banyak. Distribusi kelebihan tangkapan tersebut biasanya dilakukan oleh pembeli yang mempunyai banyak waktu dan sumber daya untuk memproses dan mendistribusikan produk yang tidak tahan usang ini. Di banyak sekali masyarakat nelayan, kaum perempuan mengambil tugas dalam melaksanakan pembelian dan penjualan ikan. Pembagian kerja ini kadangkala memperlihatkan laba bagi keluarga – pria menangkap ikan dan perempuan yang menjualnya. Peran sebagai pedagang ikan menjadikan kaum perempuan sebagai elemen utama dalam menstabilkan ekonomi di banyak sekali lingkungan nelayan, ditambah lagi kemampuan kaum pria dalam menangkap ikan mungkin hanya sebentar-sebentar sedangkan kaum perempuan sanggup bekerja sepanjang tahun.
Sehubungan dengan sistem kepemilikan atas sumber daya perairan – sebagaimana halnya dengan sistem kepemilikan lahan pada masyarakat agrikultur – ialah hal yang sangat penting namun agak jarang dibahas. Pengertian bahari sebagai sumber daya yang terbuka menghipnotis cara pandang kita terhadap kepemilikan laut. Lebih lanjut, secara umum kondisi fisik bahari maupun danau yang luas menimbulkan permasalahan dalam memilih batas-batas, ibarat yang dilakukan di darat (agrikultur). Selain itu, lantaran tangkapan mereka relatif bergerak dari satu tempat ke tempat lain (mobile), maka hak spesifik atas suatu tempat tertentu untuk menangkap ikan menjadi tidak berarti. Di banyak masyarakat nelayan, jarang ada yang mempunyai daerah spesifik untuk menangkap ikan secara individu. Hak komunal lebih ditentukan oleh faktor frekuensi mereka ke tempat tersebut.
Meskipun beberapa karakteristik perikanan bahari yang telah disebutkan di atas, ibarat perubahan cuaca dan jadwal kerja yang tidak tetap, bukan merupakan suatu yang istimewa dalam masyarakat nelayan. Namun mereka juga mengalami kesulitan untuk tetap meneruskan batas-batas daerah, disebabkan lantaran nelayan mengeksploitasi sumber dayanya didasarkan pada siapa yang tiba pertama di lokasi penangkapan. Beberapa aspek sosial budaya yang mempunyai imbas yang cukup signifikan terhadap pembangunan sanggup dijelaskan sebagai berikut:
1. Variabilitas cuaca dan ketidakpastian alam di daerah pinggiran pantai, menimbulkan suatu pola perpindahan tempat tinggal bagi nelayan. Dalam jangka pendek variabilitas yang tidak sanggup diprediksi tersebut mengakibatkan jam kerja menjadi tidak teratur dan variasi pendapatan, sehingga membutuhkan derma keuangan secara khusus.
2. Penduduk di sekitar pinggiran bahari atau danau mempunyai karakteristik pekerjaan yang tidak biasa (jam kerja tidak teratur dan jauh dari masyarakat daratan) sering mengakibatkan mereka mengalami isolasi sosial. Isolasi ini menghalangi susukan mereka untuk memperoleh pendidikan formal dan juga menghipnotis sikap mereka terhadap kelompok-kelompok sosial yang lain.
3. Risiko fisik yang harus dihadapi nelayan. Pentingnya melaksanakan kerjasama diantara awak kapal dan cepatnya depresiasi peralatan produksi, kesemuanya membutuhkan suatu tim yang egaliter, adanya saling ketergantungan, dan sanggup bekerjasama.
4. Untuk menangani, memproses, dan memasarkan ikan membutuhkan spesialisasi kerja. Pada banyak kasus, pembagian kerja didasarkan pada gender. Ini dikarenakan keterbatasan dan frekuensi ancaman yang ada di kapal sehingga tidak memungkinkan bagi anak-anak. Kaum perempuan mempunyai konsekuensi untuk mengambil alih proses dan memasarkan hasil tangkapan, serta diselingi dengan mengasuh belum dewasa mereka.
a) Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat.
b) Tahap pelaksanaan dengan wujud aktual partisipasi berupa:
1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran
2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi
3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek.
c) Tahap menikmati hasil, yang sanggup dijadikan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil menangani sasaran.
d) Tahap evaluasi, dianggap penting lantaran partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang sanggup memberi masukan demi perbakan pelaksanaan proyek selanjutnya.
Berkes dalam Berkes et. al. (2001) membagi partisipasi masyarakat dalam Co-Management menjadi tujuh level sebagai berikut: a) Community control: kekuasaan didelegasikan kepada masyarakat untuk menciptakan keputusan dan menginformasikan keputusan tersebut kepada pemerintah.
b) Partnership: pemerintah dan masyarakat bantu-membantu dalam pembuatan keputusan.
c) Advisory: masyarakat memperlihatkan masukan pesan yang tersirat kepada pemerintah dalam menciptakan keputusan, tetapi keputusan sepenuhnya ada pada pemerintah.
d) Communicative: pertukaran informasi dua arah; perhatian lokal direpresentasikan dalam perencanaan pengelolaan.
e) Cooperative: masyarakat termasuk dalam pengelolaan (tenaga).
f) Consultative: prosedur dimana pemerintah berkonsultasi dengan para nelayan, tetapi seluruh keputusan dibentuk oleh pemerintah.
g) Informative: masyarakat mendapatkan informasi bahwa keputusan pemerintah telah siap dibuat.
Sebagai negara yang mempunyai wilayah perairan lebih luas dibandingkan dengan daratannya, Indonesia mempunyai sumberdaya perairan yang sangat besar. Bahkan di Asia Tenggara, Indonesia tercatat sebagai negara dengan luasan terumbu karang terbesar, yakni 51.020 kilometer persegi, atau 50 persen dari total luasan terumbu karang Asia Tenggara. Sayangnya, hanya 6 persen yang sanggup dikategorikan sangat baik, sedangkan 30 persen kondisinya parah.
Satria (2006) menyebutkan bahwa kerusakan sumberdaya alam, khususnya bahari dan pesisir telah memunculkan informasi menarik yang salah satunya ialah mengenai common property atau kepemilikan bersama. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah konferensi internasional di Bali pada 19-23 Juni 2006 kemudian oleh International Association for the Study of Common Property dengan tema “Survival of the Commons: Mounting Challenges and New Realities”. Salah satu topik yang dibahas ialah mengenai konservasi dan kaitannya dengan informasi common property tersebut.
Pengelolaan tempat konservasi merupakan otoritas pemerintah pusat, yakni Departemen Kehutanan (Dephut). Namun, pengelolaan tempat konservasi bahari oleh pemerintah pusat menerima tantangan sesudah ditetapkannya UU 22/1999 perihal pemerintahan daerah yang mengatur kewenangan daerah di laut. UU 22/1999 mengatur batas kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Namun demikian, penetapan UU 22/1999 tidak menjamin bahwa desentralisasi konservasi sanggup diimplementasikan. Menurut Damanik, Prasetiamartati, dan Satria (2006), ada dua faktor yang mempengaruhinya, yakni (1) belum terciptanya harmonisasi produk aturan sehingga mengakibatkan konflik antara pemerintah pusat (Dephut) dan daerah dan (2) terjadinya konflik institusional antara Dephut dengan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Karakteristik Masyarakat Pesisir
Untuk memperjelas karakteristik masyarakat pesisir, Satria (2002) menguraikan karakteristik tersebut dari banyak sekali aspek, yaitu:1) Sistem pengetahuan
Pengetahuan lokal yang berakar kuat menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka selaku nelayan.
2) Sistem kepercayaan
Secara teologis, nelayan mempunyai kepercayaan yang kuat bahwa bahari mempunyai kekuatan magis sehingga perlu perlakuan khusus dalam melaksanakan penangkapan ikan semoga keselamatan dan hasil tangkapannya semakin terjamin.
3) Peran wanita
Selain menjalankan urusan domestik rumah tangga, isteri nelayan tetap menjalankan fungsi-fungsi ekonomi dalam acara penangkapan, pengolahan, maupun acara jasa dan perdagangan ikan.
4) Posisi sosial nelayan
Posisi sosial nelayan di masyarakat diperlihatkan dengan status mereka yang relatif rendah dibandingkan kelompok masyarakat yang lain. Satria (2008) menyatakan bahwa belum ada data terbaru perihal jumlah nelayan miskin dari dua juta orang nelayan yang hidup di Indonesia. Data yang ada hanya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir tahun 2002 yang mencapai 32 persen. Indikator yang dipakai ialah pendapatan 1 dollar AS per hari.
Mubyarto, Soetrisno, dan Dove (1984) yang melaksanakan penelitian di dua desa pantai (Desa Bulu dan Desa Ujungbatu) di Kabupaten Jepara menyatakan bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Sementara itu, Crutchfield (1961) dalam Marahudin dan Smith (1987) menyatakan bahwa sektor perikanan Amerika dan Kanada telah memperlihatkan bukti yang terperinci mengenai kelemahan ekonomi masyarakat nelayan. Tingkat pendapatan, baik bagi para buruh maupun pemodal, relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan kelompok masyarakat lain di tempat yang cepat berkembang tersebut. Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, maka sanggup disimpulkan bahwa baik di Indonesia maupun di Barat, kehidupan masyarakat nelayan memang mengalami permasalahan serius di bidang ekonomi yang relatif tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lain.
Karakter Dalam Bidang Perikanan
Dua kategori utama yang harus dibedakan dalam masyarakat pantai atau perikanan ialah bahwa budidaya perikanan (aquaculture) berbeda dengan penangkapan ikan (capture fishing). Berbagai forum pembangunan internasional menggabungkan kedua pembagian terstruktur mengenai tersebut menjadi sektor perikanan. Dengan demikian penggabungan yang “salah” tersebut meyakini bahwa keduanya mempunyai kesamaan. Walaupun pada kenyataannya, satu kesamaan yang sanggup ditemui ialah bahwa produk yang dihasilkan sama-sama ikan.Seorang yang membudidayakan ikan, tahu dimana ikan-ikannya berada dan kapan harus menangkapnya sehingga produksinya sanggup lebih diprediksi. Pada kesudahannya sumber daya insan dan kebutuhan modal untuk budidaya perikanan dan penangkapan ikan, berbeda antara satu sama lain. Nelayan hanya perlu menangkap ikan yang tumbuh secara alamiah, dan pada nelayan berskala kecil hal ini sanggup dilakukan dengan modal yang relatif sedikit. Sebaliknya, sistem budidaya perikanan membutuhkan pengelolaan dan penangkapan yang tergantung pada pengaturan dan pembinaan tenaga kerja yang lebih kompleks. Berbagai sistem budidaya perikanan memerlukan pembuatan/penggalian kolam, pengadaan bibit, pemeliharaan kualitas air, dan pemberian makanan, yang kesemuanya membutuhkan investasi yang relatif besar. Di dalam goresan pena ini, pembahasan dibatasi hanya pada perikanan bahari (capture fishing), mengingat terdapat karakteristik yang khas di dalam masyarakatnya.
Di banyak sekali lingkungan nelayan, ibarat juga pekerjaan di bidang lain, mereka membentuk masyarakat. Nelayan sering terisolasi lantaran mereka harus tinggal di sepanjang pinggiran danau, sungai, atau laut. Isolasi relatif ini meningkat antara nelayan dengan masyarakat daratan dikala mereka sedang menangkap ikan. Sebagai tambahan, kebanyakan nelayan bekerja di malam atau dini hari – waktu dimana sebagian besar orang sedang tidur – yang mengakibatkan mereka sering diperlakukan sebagai “orang terbuang” dari masyarakat.
Isolasi tempat tinggal dan sosial ini menghipnotis variabel sosial budaya yang lain, yang pada kesudahannya akan kuat pada pembangunan masyarakat nelayan. Kondisi ini juga mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan di banyak lingkungan nelayan berskala kecil di banyak negara berkembang. Bahkan di daerah yang tidak terlalu terisolasi, isolasi sosial mengakibatkan nelayan dan keluarganya menanggapi pendidikan formal secara negatif, dibandingkan dengan masyarakat yang bukan nelayan. Sebagai contoh, ketidakmampuan belum dewasa nelayan untuk berpakaian sekolah secara layak mendorong mereka untuk lebih cepat keluar dari sekolah. Selain hal itu, adanya perbedaan gender dalam angkatan kerja merupakan bukti yang sering ditemui dalam sistem pasar dan distribusi. Ikan merupakan produk yang tidak tahan lama. Ia sulit disimpan tanpa teknik yang rumit dalam penjemuran atau pengawetan serta membutuhkan tempat dan tenaga kerja yang relatif banyak. Distribusi kelebihan tangkapan tersebut biasanya dilakukan oleh pembeli yang mempunyai banyak waktu dan sumber daya untuk memproses dan mendistribusikan produk yang tidak tahan usang ini. Di banyak sekali masyarakat nelayan, kaum perempuan mengambil tugas dalam melaksanakan pembelian dan penjualan ikan. Pembagian kerja ini kadangkala memperlihatkan laba bagi keluarga – pria menangkap ikan dan perempuan yang menjualnya. Peran sebagai pedagang ikan menjadikan kaum perempuan sebagai elemen utama dalam menstabilkan ekonomi di banyak sekali lingkungan nelayan, ditambah lagi kemampuan kaum pria dalam menangkap ikan mungkin hanya sebentar-sebentar sedangkan kaum perempuan sanggup bekerja sepanjang tahun.
Sehubungan dengan sistem kepemilikan atas sumber daya perairan – sebagaimana halnya dengan sistem kepemilikan lahan pada masyarakat agrikultur – ialah hal yang sangat penting namun agak jarang dibahas. Pengertian bahari sebagai sumber daya yang terbuka menghipnotis cara pandang kita terhadap kepemilikan laut. Lebih lanjut, secara umum kondisi fisik bahari maupun danau yang luas menimbulkan permasalahan dalam memilih batas-batas, ibarat yang dilakukan di darat (agrikultur). Selain itu, lantaran tangkapan mereka relatif bergerak dari satu tempat ke tempat lain (mobile), maka hak spesifik atas suatu tempat tertentu untuk menangkap ikan menjadi tidak berarti. Di banyak masyarakat nelayan, jarang ada yang mempunyai daerah spesifik untuk menangkap ikan secara individu. Hak komunal lebih ditentukan oleh faktor frekuensi mereka ke tempat tersebut.
Tipe Kepemilikan Negara LAut
Tipe kepemilikan bahari sudah dilakukan di beberapa masyarakat nelayan. Setidaknya seberapa sering (frekuensi) mereka ke tempat tersebut sanggup dijadikan kepemilikan individu. Pada beberapa kasus, daerah menangkap ikan sudah diformalkan oleh orang-orang yang dianggap penting oleh masyarakat agak berbeda dengan hak yang diklaim secara turun menurun. Hak komunal ibarat ini sering ditemui dalam bentuk kepemilikan laut. Karena tidak ada hak kepemilikan bahari secara formal, maka daerah-daerah penangkapan ikan seringkali dirahasiakan. Lokasi daerah tersebut ditentukan secara visual, sementara pengetahuan perihal ikan diberikan secara turun temurun dari generasi ke generasi.Meskipun beberapa karakteristik perikanan bahari yang telah disebutkan di atas, ibarat perubahan cuaca dan jadwal kerja yang tidak tetap, bukan merupakan suatu yang istimewa dalam masyarakat nelayan. Namun mereka juga mengalami kesulitan untuk tetap meneruskan batas-batas daerah, disebabkan lantaran nelayan mengeksploitasi sumber dayanya didasarkan pada siapa yang tiba pertama di lokasi penangkapan. Beberapa aspek sosial budaya yang mempunyai imbas yang cukup signifikan terhadap pembangunan sanggup dijelaskan sebagai berikut:
1. Variabilitas cuaca dan ketidakpastian alam di daerah pinggiran pantai, menimbulkan suatu pola perpindahan tempat tinggal bagi nelayan. Dalam jangka pendek variabilitas yang tidak sanggup diprediksi tersebut mengakibatkan jam kerja menjadi tidak teratur dan variasi pendapatan, sehingga membutuhkan derma keuangan secara khusus.
2. Penduduk di sekitar pinggiran bahari atau danau mempunyai karakteristik pekerjaan yang tidak biasa (jam kerja tidak teratur dan jauh dari masyarakat daratan) sering mengakibatkan mereka mengalami isolasi sosial. Isolasi ini menghalangi susukan mereka untuk memperoleh pendidikan formal dan juga menghipnotis sikap mereka terhadap kelompok-kelompok sosial yang lain.
3. Risiko fisik yang harus dihadapi nelayan. Pentingnya melaksanakan kerjasama diantara awak kapal dan cepatnya depresiasi peralatan produksi, kesemuanya membutuhkan suatu tim yang egaliter, adanya saling ketergantungan, dan sanggup bekerjasama.
4. Untuk menangani, memproses, dan memasarkan ikan membutuhkan spesialisasi kerja. Pada banyak kasus, pembagian kerja didasarkan pada gender. Ini dikarenakan keterbatasan dan frekuensi ancaman yang ada di kapal sehingga tidak memungkinkan bagi anak-anak. Kaum perempuan mempunyai konsekuensi untuk mengambil alih proses dan memasarkan hasil tangkapan, serta diselingi dengan mengasuh belum dewasa mereka.
Partisipasi Masyarakat Pesisir
Selama ini, peranserta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya insan cukup dipandang sebagai tenaga agresif untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus mendapatkan keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak mempunyai “kesadaran kritis” (Nasdian, 2004). Untuk mengoreksi pengertian tersebut, Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan memakai sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka sanggup menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut sanggup dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari persoalan mereka sendiri. Sementara itu, Cohen dan Uphoff (1977) dalam Intania (2003) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu:a) Tahap pengambilan keputusan (perencanaan) yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat.
b) Tahap pelaksanaan dengan wujud aktual partisipasi berupa:
1. Partisipasi dalam bentuk sumbangan pikiran
2. Partisipasi dalam bentuk sumbangan materi
3. Partisipasi dalam bentuk keterlibatan sebagai anggota proyek.
c) Tahap menikmati hasil, yang sanggup dijadikan sebagai indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subyek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek yang dirasakan berarti proyek tersebut berhasil menangani sasaran.
d) Tahap evaluasi, dianggap penting lantaran partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang sanggup memberi masukan demi perbakan pelaksanaan proyek selanjutnya.
Berkes dalam Berkes et. al. (2001) membagi partisipasi masyarakat dalam Co-Management menjadi tujuh level sebagai berikut: a) Community control: kekuasaan didelegasikan kepada masyarakat untuk menciptakan keputusan dan menginformasikan keputusan tersebut kepada pemerintah.
b) Partnership: pemerintah dan masyarakat bantu-membantu dalam pembuatan keputusan.
c) Advisory: masyarakat memperlihatkan masukan pesan yang tersirat kepada pemerintah dalam menciptakan keputusan, tetapi keputusan sepenuhnya ada pada pemerintah.
d) Communicative: pertukaran informasi dua arah; perhatian lokal direpresentasikan dalam perencanaan pengelolaan.
e) Cooperative: masyarakat termasuk dalam pengelolaan (tenaga).
f) Consultative: prosedur dimana pemerintah berkonsultasi dengan para nelayan, tetapi seluruh keputusan dibentuk oleh pemerintah.
g) Informative: masyarakat mendapatkan informasi bahwa keputusan pemerintah telah siap dibuat.
Next: Koperasi Masyarakat Pesisir |
Belum ada Komentar untuk "Nih Karakteristik Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Daerah Konservasi Laut"
Posting Komentar